TIMES SUMBAWA, LOMBOK BARAT – Ritual Perang Topat di Pura Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), merupakan perang yang unik. Tak ada amarah. Tak ada dendam. Justru menjadi azimat kerukunan dan toleransi bagi umat dua agama. Yakni umat Islam dan Hindu di Pulau Lombok.
Ritual Perang ini bermula ketika ribuan peserta perang antara umat Muslim dan Hindu, dimana suku Sasak dan suku Bali hadir berbaur menjadi satu. Mereka datang untuk menghadiri sebuah tradisi masyarakat Lombok Barat yang sudah berlangsung ratusan tahun silam.
Tradisi perang Topat ini menceritakan tentang kedamaian serta toleransi masyarakat Lombok Barat dalam kehidupan sehari-hari di tengah keberagaman. Baik umat Islam maupun Hindu menyatu tanpa ada gesekan dan konfrontasi, yang muncul justru tradisi Perang Topat yang lestari hingga saat ini.
Ketua Pengelola Kemaliq Lingsar, Lalu Suparman Taufik menjelaskan, bahwa ritual Perang Topat dimulai dengan prosesi mengelilingkan sesaji berupa makanan, buah dan sejumlah hasil bumi sebagai sarana persembahyangan di dalam Taman Pura Lingsar.
"Dalam prosesi ini didominasi masyarakat suku Sasak dan beberapa tokoh umat Hindu yang ada di Lombok. Sarana persembahyangan seperti Kebon Odek, Sesaji ditempatkan didalam Kemalik," jelasnya, saat ditemui di lokasi penyelenggaraan Perang Topat, Kamis (8/12/2022).
Ribuan umat Islam dan Hindu memadati Pura Lingsar lokasi penyelenggaraan ritual Perang Topat.(FOTO: Anugrah Dany/TIMES Indonesia)
Masyarakat Lombok Barat selalu menggelar ritual Perang Topat pada hari ke-15 bulan ke tujuh pada penanggalan Sasak Lombok. Momentum ini disebut Purnama Sasih Kepitu (Purnama bulan ketujuh), atau hari ke 15 bulan keenam pada penanggalan Hindu Bali, yang disebut Purnama Sasi Kenem (Purnama bulan keenam).
Ritual Perang Topat dilakukan bertepatan dengan gugur Bunga Waru atau dalam bahasa Sasaknya disebut “Rorok Kembang Waru”. Yakni, menjelang tenggelamnya sinar matahari sekitar pukul 17.00 WIB.
Ribuan umat Hindu dan Muslim memenuhi Pura Lingsar, dua komunitas umat beda kepercayaan ini menggelar prosesi Upacara Pujawali, sebagai ungkapan atas puji syukur limpahan berkah dari sang pencipta.
"Perang Topat ini merupakan acara ritual sekaligus bagian dari Pujawali menggunakan makanan sajian berupa ketupat yang juga merupakan sesajian dalam upacara," papar Lalu Suparman Taufik.
Setelah ketupat yang sudah dipakai untuk perang, kemudian dibawa pulang oleh masyarakat khususnya petani. Karena diyakini dapat dipergunakan sebagai bubus untuk dijadikan pupuk yang ditaburkan di sawah dan kebun pada saat malam hari seraya memohon doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, untuk mendapatkan kesuburan bumi dan hasil pertanian yang semakin melimpah.
Sementara, Ketua Panitia Pujawali Pura Lingsar, A. A. Ketut Agung Oka Kartha Wirya mengatakan, ritual Perang Topat merupakan salah satu rangkaian Pujawali di Pura Lingsar.
Bupati Lombok Barat Fauzan Khalid saat menghadiri tradisi Perang Topat, di Desa Lingsar, Lombok Barat.(FOTO: Anugrah Dany/TIMES Indonesia)
Persiapan upacara Pujawali dilakukan oleh umat Hindu setempat dengan membuat berbagai perlengkapan Pujawali di Gedong Pura Lingsar.
Prosesi kemudian dilanjutkan dengan Maturan Ayunan di Pura Ulon, Gaduh, Kemalik dan Gedong di halaman Pura Lingsar. Setalah itu, umat Hindu menghaturkan bebantenan (sesaji) di masing-masing sanggar hingga diakhiri dengan persembahyangan bersama.
Rangkaian prosesi saat Pujawali dalam ritual Perang Topat ini mirip dengan Pujawali yang digelar di berbagai pura di Bali.
"Kemudian ada acara Pedanda Siwa mepuja, serangkaian Megelarsanga, Puja Trisandya, pemuspaan di Mandala Kemalik lokasi umat Islam. Malam harinya, baru dilanjutkan dengan pementasan sesolahan seni budaya dari umat Hindu," jelas Agung.
Sementara itu, menurut Bupati Lombok Barat Fauzan Khalid, bahwa ritual Perang Topat telah dilaksanakan secara turun temurun oleh umat Muslim dan Hindu di Lombok Barat.
Dimana ritual ini merupakan bentuk toleransi antara Suku Sasak dan Suku Bali yang disatukan dalam satu tradisi.
"Perang Topat ini bagaimana kita bersikap terhadap pluralisme di tengah masyarakat Lombok. Ini warisan leluhur yang harus kita jaga terus dan harus dipertahankan," katanya.
Menurut Fauzan, gambaran keharmonisan umat beragama tersebut bisa disaksikan sebelum puncak Perang Topat dimulai dengan ritual mengarak kerbau.
Tokoh agama dari perwakilan umat Muslim dan Hindu memegang tali Kerbau saat mengarak keliling taman Pura Lingsar.
“Kerbau merupakan simbol penghormatan kepada umat Islam dan Hindu. Alangkah indahnya kenyataan yang dibungkus dengan kesadaran total ini, bahwa kita semua adalah makhluk Allah SWT. Tujuannya adalah untuk merajut persaudaraan dan perdamaian antar sesama manusia. Jadi, filosopi Perang Topat itu adalah mempertahankan tradisi untuk menjaga toleransi," katanya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Perang Topat, Ritual yang Jadi Simbol Toleransi Umat Dua Agama
Pewarta | : Anugrah Dany Septono |
Editor | : Yatimul Ainun |