TIMES SUMBAWA, LOMBOK UTARA – Proyek pembangunan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia Kabupaten Lombok Utara (DPRD KLU) senilai Rp10 miliar terancam tak tuntas tepat waktu.
Hambatan dalam pengerjaan ini diakibatkan karena kondisi curah hujan lebat di wilayah KLU dan sekitarnya.
"Iya betul, sudah tiga hari turun hujan lebat di wilayah Tanjung (lokasi bangunan)," ucap Kabid Cipta Karya, Dinas PUPR dan Perkim KLU, Rangga Wijaya, Jumat (1/11/2024).
Dengan kondisi hujan ini menyebabkan penundaan pengecoran bangunan pada tiang dan lantai atas.
"Tadinya mau ngecor Kamis kemarin, tapi diundur," katanya.
Selain itu juga, terdapat beberapa besi bekisting yang belum terpasang, sehingga terkendala pembersihan di atas.
"Sebelum kita cor, papan bekisting dan triplek harus dibersihkan di atasnya. Kalau kita paksa untuk cor maka khawatir bocor akibat curah hujan tinggi," terangnya.
Bila ingin cor-coran bangunan bagus, maka harus dilakukan pada sore hari atau malam hari sehingga tidak retak.
"Kalau dipaksakan sekarang tentu tidak bisa," tegasnya.
Kontraktor pelaksana proyek pembangunan gedung DPRD KLU dikerjakan CV Sita Konstruksi Mandiri dan konsultan pengawasnya CV Satria Konsultan, kalender pengerjaan selama 120 hari atau empat bulan. Sumber penganggaran berasal dari APBD KLU tahun anggaran 2024.
"Sekarang pengerjaan sudah berjalan dua bulan, tinggal dua bulan lagi," katanya.
Melihat kondisi cuaca dan hambatan lapangan membuat tahap pengerjaan tidak mulus, sehingga progres masih di bawah 30 persen.
Selain itu juga, kondisi kualitas konstruksi bangunan akan berpengaruh bila hujan terus-menerus.
"Kalau sudah dicor progres 35 persen, kalau sekarang masih dibawah 30 persen," jelasnya.
Ia menambahkan, pihaknya sudah melakukan preser (tekanan) terhadap kontraktor pelaksana supaya dapat menuntaskan tepat waktu pada 31 Desember 2024.
"Bila tidak bisa maka diberikan denda," tandasnya.
Bila tidak tepat waktu, maka nanti akan ada keputusan apakah diberikan waktu tambahan atau putus kontrak. Bila progres pengerjaan masih di bawah 50 persen, lebih baik putus kontrak.
"Kalau masih dibawah 50 persen tidak berani lanjutkan, bisa kita lakukan putus kontrak kerja. Kalau di atas 50 persen maka bisa berlanjut setelah ada pertimbangan," jelasnya.
Bila diputus kontrak maka pembayaran dilakukan sesuai progres pengerjaan, bila dilanjutkan maka pihak ketiga harus membayar denda.
"Kalau dinas penyebab keterlambatan baru tidak ada dendanya, tapi ini pihak ketiga," tegasnya.
Pengerjaan proyek ini mendapat pendampingan hukum dari kejaksaaan, sehingga setiap keputusan harus ada keterlibagan pihak kejaksaan sebagai bentuk pengawasan.
Ia khawatir pengerjaan proyek ini dalam kurun waktu empat bulan maka berpengaruh ke kualitasnya. Harus tuntas ini, bila tidak tuntas maka menjadi ruang masuk apart penegak hukum (APH), seperti IGD RSUD KLU dan gedung-gedung mangkrak lainnya.
"Kalau tidak berlanjut, dan mangkrak maka terancam menjadi ruang masuk APH seperti IGD RSUD," tutupnya. (*)
Pewarta | : Hery Mahardika |
Editor | : Hendarmono Al Sidarto |